Semakin hari, semakin mendekatnya pemilu di Afghanistan, semakin membuat negara itu panas bergejolak. AS yang berada di balik semua kekacauan yang sedang terjadi di Afghan, pun sudah dibuat kalang kabut.
Bagaimana tidak, kondisi yang ada sekarang ini sudah tak terkendali. Bom meledak di manapun, tak pandang bulu dan tempat, di tempat sepi ataupun keramaian. Membunuh warga sipil dan juga tentara asing.
Jumlah tentara AS dan NATO meroket tajam, dan segera saja fakta ini mengatakan bahwa inilah tahun paling krusial dalam sejarah Afghanistan. Berpuluh tahun digempur oleh pasukan asing dimulai dari Rusia beberapa dekade yang lalu, tak urung, peta penguasaan AS dan sekutu sekarang ini membuat Afghanistan seperti kehilangan identitas. Pasalnya, sekarang ini, hanya ada satu pihak saja yang melakukan perlawanan, sedangkan pemerintah Afghan telah lama menginstalasi diri pada kekuasaan AS.
AS sendiri seperti diburu waktu. Mereka seperti tengah berusaha membuktikan diri dan pemilu Afghan pada 20 Agustus mendatang menjadi pertaruhan mereka. Walau bukan sebuah spekulasi terakhir, tetapi AS akan menghadapi jalan buntu seandainya saja pemilu ini berjalan lancar, walaupun pada intinya, apapun hasil dari pemilu itu tetap akan membuat AS mempertahankan hegemoninya di negara ini.
Saat ini AS sudah menyodorkan hanya dua pilihan pada pemerintahan Afghanistan dan disusul Pakistan: memisahkan diri dengan grup yang AS sebut militan (Taliban) ataukah bergabung sepenuhnya dengan AS. Masalahnya tidak semudah itu, karena satu ganjalan paling besar justru datang dari rakyat. Pemerintah Afghan dan Pakistan terlalu kecewa kepada rakyatnya yang selalu melindungi Taliban—bayangkan “kelompok ekstremis” itu dengan bebas bisa berlalu-lalang di pasar, di jalanan, atau di ladang mereka, dan ketika keamanan AS atau Afghanistan datang, para penduduk itu tutup mata, menyembunyikan Taliban.
Saat ini AS bisa dibilang sudah habis-habisan. Mereka sudah mengirim tambahan amunisi perang, intelijen dan bantuan keuangan yang sangat besar yang diambil dari rakyat AS yang resah. Pada dasarnya, tentara AS yang berada di Iraq bukanlah untuk dipulangkan ke negaranya seperti yang diharapkan oleh prajurit-prajurit yang stess itu, tetapi dipindahtugaskan ke Afghanistan. Bagi prajurit AS yang bernasib nahas tersebut, ibaratnya seperti keluar dari sarang buaya, masuk ke perangkap harimau.
Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, juga tak dikehendaki oleh rakyat Afghanistan. Ia telah memimpin korupsi dan menjadi perpanjangan tangan pihak asing—sesuatu yang sangat dibenci oleh rakyat Afghan sendiri. Afghanistan seperti terjebak dalam sebuah sudut segi empat yang tak mempunyai pintu, dan korbannya apalagi kalau bukan orang-orang Islam.
Sementara militer AS masih bersikeras bahwa perang Afghansitan bukanlah sebuah pertunjukan, hanya sebuah konfrontasi prinsipil, sebagai bentuk pertanggungjawaban peristiwa 9/11 delapan tahun yang lalu, yang tanpa alasan jelas, tanpa bukti kuat, melimpahkannya pada Afghanistan yang sengsara, miskin, dan terdhalimi.
Dan rakyat AS yang juga sedang terjepit resesi kerap bertanya: memerangi apa gerangan di Afghanistan? Washington, Nato, serta pemerintah Afghanistan dan Pakistan berjalan dalam diam, sementara Afghanistan terus panas bergejolak, dan orang Islam terus menjadi korban satu persatu. (sa/nyt-http://www.eramuslim.com/berita/dunia/afghanistan-panas-bergejolak.htm)
No comments:
Post a Comment