Farid Abdulkhalik adalah contoh hidup dari kegigihan dan daya tarik Ikhwan.
Di umurnya yang ke-95, dia masih anggota setia dan baru saja menyelesaikan tesis PhD akuntabilitas "hisbah" dalam sistem pemerintahan Islam.
Abdulkhalik pertama kali bertemu dengan pendiri Ikhwan, Hassan al-Banna, di tahun 1940-an. Itu adalah pertemuan yang mengubah hidupnya.
Tidak seperti dai lainnya, Al-Banna memiliki pesan yang baru dalam dakwahnya: Islam tidak hanya salat dan puasa, Islam adalah seluruh cara hidup.
Al-Banna mendirikan Ikhwan pada tahun 1928 dengan sekelompok kecil orang yang ingin menyingkirkan kontrol Inggris atas Mesir kontrol dan membersihkan semua pengaruh Barat di negerinya, dengan alasan kolonialisme telah merampok identitas Muslim bangsa mereka.
Cabang-cabang Ikhwan di seluruh negeri tumbuh pesat, dan selalu dengan berpusat di masjid, sekolah dan klub olahraga. Hanya kurang dari 10 tahun, Ikhwan sudah mempunyai kader sebanyak satu juta orang.
Lebih dari 80 tahun kemudian, gagasan Al-Bana—bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga cara hidup—telah menjadi prinsip fondasi politik Islam di seluruh dunia. Ikhwan kemudian tidak hanya fokus di negara mayoritas berpenduduk Muslim, tetapi juga ke Barat.
Salah satu tujuan lain dari Ikhwan adalah mendirikan pemerintahan Islam di Mesir. Meskipun dinyatakan ilegal di Mesir, tapi Ikhwan tidak hanya bertahan, tetapi berkembang.
Di semua bagian, disiplin dan kohesi internal memegang peranan yang tidak kecil.
"Setiap anggota Ikhwan seperti partner di sebuah perusahaan besar, sehingga ia rela berkorban," kata juru bicara Essam el-Erian, yang telah dipenjarakan lebih dari sekali. Misalnya saja, jika seorang kepala keluarga anggota Ikhwan di penjara, maka Ikhwan segera mengkover semua kebutuhan ia dan keluarganya.
"Jika Anda menghadapi rezim polisi, Anda tidak bisa sendirian. Jika Anda ditangkap atau jika Anda disiksa, Anda akan mempunyai seseorang yang membela Anda," kata el-Erian.
Hanya sedikit keraguan bahwa kegagalan Mesir dalam mengayomi masyarakat miskin telah menguntungkan Ikhwan, yang sekarang mengelola rumah sakit dan amal. Di negara dimana politik normal telah rusak setelah hampir 60 tahun kekuasaan militer, Ikhwan tetap memiliki landasan moral yang tinggi.
"Sekarang mereka mewakili gerakan yang paling penting karena semua pelaku politik di Mesir telah menjadi sangat lemah," kata Amr al-Shoubaki, seorang ahli tentang politik Islam.
"Mereka merupakan alternatif—Islam adalah solusi, samar-samar dan realistis, namun bagi banyak orang sekarang ini, Islam adalah solusi mimpi bagi keadilan."
Inilah yang menjadi fundamental dalam keberhasilan Ikhwan untuk tetap terus bertahan dalam situasi politik Mesir yang carut-marut.
"Ikhwan memberikan identitasnya pada Islam dengan pembaharuan di banyak daerah," kata Issandr al-Amrani, analis Timur Tengah yang berbasis di Kairo. Menurut Amrani, Ikhwan bukanlah Taliban Mesir.
"Ikhwan terus diarahkan pada kemajuan sejarah—ide bahwa negara-negara Muslim harus mengejar ketinggalan terhadap Barat, tetapi melakukannya tanpa kehilangan identitas Islamnya. Mereka mengajak umat Islam ke era keemasan di abad ke-7, dan mereka. mendukung kembalinya Islam dalam kehidupan modern."
Hari ini, Mesir mendekati akhir sebuah era. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi ketika Presiden Hosni Mubarak, 82 tahun, lengser, dan pergi.
Dengan latar belakang itu, Ikhwan adalah salah satu masalah yang paling hangat diperdebatkan.
Seorang penulis naskah drama, Wahid Hamed, sangat kritis terhadap Persaudaraan. "Mereka adalah organisasi bawah tanah yang mengusung kekerasan dan memakai mantel.” Ujarnya.
Tapi Hamid mengakui bahwa Ikhwan tidak dapat diabaikan, terutama dalam situasi sekarang.
"Mesir sedang menunggu juru selamat dari tindak korupsi yang mengakar, pengangguran, masalah dengan infrastruktur, kelebihan penduduk, dan masalah lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Dan alternatif yang juga hadir kuat pada hari ini adalah Ikhwan," katanya. (sa/alahram)
No comments:
Post a Comment