Apa rasanya menjadi presiden terpilih Amerika Serikat? Apa rasanya menjadi seorang kepala negara dimana kekuasaan Anda dibatasi hanya untuk melayani segelintir kelompok yang mempunyai tendesius kepentingan?
Seorang presiden yang menjalankan tugasnya dengan baik untuk segelintir kelompok berkepentingan itu tentu akan diganjar dengan sebuah buku kontrak yang mengagumkan. Jika ia masih muda ketika memasuki Gedung Putih seperti Bill Clinton dan Barack Obama, itu artinya sebuah kemewahan hidup jangka panjang.
Melawan kepentingan khusus dari sebuah kelompok di AS jelas tidak akan menghasilkan kesuksesannya. Pada 30 April 2009, kekuatan khusus kembali tampak. Tuntutan kaum Demokrat untuk mempertahankan penyitaan barang jaminan kredit perumahan senilai $1,7 juta mentah di tangan Senat. Padahal Demokrat merupakan mayoritas dengan jumlah sampai 60 suara.
Inilah gangster finansial di negeri Paman Sam. Sama hanya dengan kasus yang membuat rakyat AS meradang ketika Senat juga memotong setengah dari dana pensiunan warga AS. Ratusan milyar bahkan sekarang sudah menguap begitu saja sebagai bailout bank-bank besar di AS. Moto Senat AS yang sudah terkenal: “Ratusan milyar untuk para bankster, 10 sen untuk rakyat.” Bankster adalah sebutan mafia keuangan yang sudah terkenal di tubuh pemerintahan AS.
Yang membuat warga AS terperangah adalah kini anggaran dana perang AS mencapai $533,7 milyar untuk tahun ini saja. Anggaran ini 10 kali lipat lebih banyak daripada anggaran militer China yang dianggap sebagai negara kuat kedua. Bagaimana mungkin sebuah negara superpower satu-satunya di dunia merasa begitu terancam dengan Afghanistan dan Iraq—dua negara yang dianggap tak punya kekuatan militer sama sekali?
Rakyat AS sadar, bahwa dua perang ini semata-mata hanya digunakan sebagai desain untuk memperkaya industri persenjataan AS. Jangan lupa, AS juga “menginfus” keamanan dalam negerinya dengan persenjataan serupa.
Rakyat AS dulu memilih Obama berharap bahwa Obama akan mengakhiri perang yang disulut oleh George W. Bush, presiden sebelumnya. Perang telah menghancurkan AS dan menghadirkan krisis ekonomi global, hingga AS tak sempat lagi memikirkan pelayanannya kepada masyarakatnya sendiri.
Menurut Pentagon, biaya perang AS di Afghanistan tahun depan akan sama dengan biaya perang bertahun-tahun di Iraq. Univesitas Harvard menghitung bahwa perang Iraq telah menelan dana sebesar $3 trilyun yang diambil dari pajak rakyat. Jika Pentagon benar, maka beban rakyat AS akan menjadi dua kali lipat menjadi $6 trilyun, satu untuk biaya perang dan satu lagi untuk “keamanan birokrasi pasca perang”. Dhar Jamail melaporkan bahwa psikiater tentara AS menyebutkan kalau tentara AS yang stress setelah perang meningkat menjadi 30 persen!
China, Rusia, dan India adalah beberapa negara yang tengah (kembali) bangkit kekuatannya. Dollar AS berputar sebagai mata uang internasional, namun di dalam negeri AS sendiri tengah terjadi kekisruhan akan dollar itu sendiri menyangkut perang dan bailout.
Mengapa AS membuat dirinya sendiri impoten dengan cara menjerumuskan diri pada perang dengan mereka yang sama sekali tidak membahayakan AS sama sekali? Jawabannya adalah lobi militer dan keamanan, para gangster keuangan, dan kekuasaan AIPAC. Malang benarlah nasib rakyat Amerika. (sa/mrd) (http://www.eramuslim.com/berita/dunia/siapa-yang-memerintah-amerika.htm)
No comments:
Post a Comment