"(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) merela yang sesat." (1: 7).
Firman-Nya, "Shirathalladzina an'amta 'alaihim" (Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka) adalah sebagai tafsir dari firman-Nya, jalan yang lurus. Dan merupakan badal (kata benda) menurut para ahli nahwu dan boleh pula sebagai athaf bayan (kata benda yang mengikuti kata benda sebelumnya).
Orang orang yang diberikan nikmat oleh Allah SWT itu adalah orang-orang yang tersebut dalam surat An-Nisa', Dia berfirman, "Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqun, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui." (An-Nisa': 69 -- 70).
Dan, firman-Nya, "ghairilmaghdhubi'alaihim waladhdhalin" (bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat). Jumhur ulama membaca "ghairi" dengan memberikan kasrah pada hurup ra', yang kedudukannya sebagai naat (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan, dibaca juga dengan memakai harakat fathah di atasnya, yang menunjukkan haal (keadaan). Itu adalah bacaan Rasulullah saw, Umat bin Khaththab, dan riwayat dari Ibnu Katsir. Dzul haal adalah dhamir dalam kata "'alaihim", sedangkan 'amil ialah lafaz "an'amta".
Artinya, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepadanya. Yaitu, mereka yang memperoleh hidayah, istiqamah, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Bukannya jalan orang-orang yang mendapat murka, yang kehendak mereka telah rusak, sehingga meskipun mereka telah mengetahui kebenaran, namun menyimpang darinya. Bukan juga jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sehingga mereka berada dalam kesesatan serta tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran.
Pembicaraan di sini dipertegas dengan kata "la" (bukan), guna menunjukkan bahwa di sana terdapat dua jalan yang rusak, yaitu jalan orang-orang Yahudi dan jalan orang-orang Nasrani. Juga untuk membedakan antara kedua jalan itu agar setiap orang menjauhkan diri darinya.
Jalan orang-orang ayang beriman itu mencakup pengetahuan akan kebenaran dan pengamalannya, sementara itu orng-orang Yahudi tidak memiliki amal, sedangkan orang-orang Nasrani tidak memiliki ilmu (agama). Oleh karena itu, kemurkaan bagi orang-orang Yahudi, sedangkan kesesatan bagi orang-orang Nasrani. Karena orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya itu berhak mendapatkan kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu.
Sedang orang Nasrani ketika hendak menuju kepada sesuatu, mereka tidak memperoleh petunjuk kepada jalannya, hal itu karena mereka tidak menempuhnya melalui jalan yang sebenarnya, yaitu mengikuti kebenaran, maka mereka pun masing-masing tersesat. Orang Yahudi dan Nasrani adalah sesat dan mendapat murka. Namun, sifat Yahudi yang paling khusus adalah mendapat kemurkaan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala mengenai diri mereka (orang-orang Yahudi), "Yaitu orang-orang yang dilaknat dan dimurkai Allah." (Al-Maidah: 60).Adapun sifat Nasrani yang paling khusus adalah kesesatan, sebagaimana firman-Nya mengenai ihwal mereka, "Orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad saw) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan lurus." (Al-Maidah: 77).
Masalah ini banyak disebutkan dalam hadis dan atsar, dan hal itu cukup jelas.
Catatan:1. Surat yang terdiri dari tujuh ayat ini mengandung pujian, pemuliaan, dan pengagungan kepada Allah SWT melalui penyebutan asmaul husna milik-Nya, disertai adanya sifat-sifat yang maha sempurna. Jug mencakup penyebutan tempat kembali manusia, yaitu hari pembalasan. Selain itu berisi bimbingan kepada para hamba-Nya agar mereka memohon dan tunduk kepada-Nya serta melepaskan upaya dan kekuatan diri mereka untuk selanjutnya secara tulus ikhlas mengabdi kepada-Nya, meng-Esakan dan menyucikan-Nya dari sekutu atau tandingan. Juga berisi bimbingan agar mereka memohon petunjuk kepada-Nya ke jalan yang lurus, yaitu agama yng benar serta menetapkan mereka pada jalan tersebut, sehingga ditetapkan bagi mereka untuk menyeberangi jalan yan tampak konkret pada hari kiamat kelak menuju ke surga di sisi para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.
Surat Al-Fatihah ini juga mengandung targhib (anjuran) untuk mengerjakan amal saleh agar mereka dapat bergabung bersama-sama dengan orang yang beramal saleh pada hari kiamat kelak. Serta, mengingatkan agar mereka tidak menempuh jalan kebatilan supaya mereka tidak digiring bersama penempuh jalan tersebut pada hari kiamat, yaitu mereka yang dimurkai dan tersesat.
2. Seusai membaca Al-Fatihah dusunnahkan bagi seseorang untuk mengucapkan amin. Seperti ucapan yasin. Boleh juga mengucapkan amin dengan alif dibaca pendek, artinya adalah "ya Allah kabulkanlah". Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi, dari Wail bin Hujur, katanya aku pernah mendengar Nabi saw membaca, "Ghairilmaghdhubi'alaihim waladhdhalin", lalu beliau mengucapkan, "Amin" dengan memanjangkan suaranya.
Adapun menurut riwayat Abu Dawud, dan beliau mengangkat suaranya. At-Tirmidzi mengatakan, hadis ini hasan. Hadis ini diriwayatkan juga dari Ali, Ibnu Mas'ud, dan lain-lainnya.Dari Abu Hurairah, katanya, apabila Rasulullah saw membaca, "Ghairilmaghdhubi'alaihim waladhdhalin", mak beliau mengucapkan, "Amin." Sehigga, terdengar oleh orang-orang yang di belakangnya pada barisan pertama. Hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Majah menambahkan pada hadis tersebut dengan kalimat, "Sehingga masjid bergetar karenanya."
Serta (hadis ini pun diriwayatkan oleh) ad-Daruquthni, ia mengatakan, hadis ini berisnad hasan.Sahabat kami dan lain-lainnya mengatakan, "Disunnahkan juga mengucapkan 'amin' bagi orang yang membacanya di luar salat. Dan lebih ditekankan bagi orang yang mengerjakan salat, baik ketika munfarid (sendiri) maupun sebagai imam atau makmum, serta dalam keadaan apa pun, berdasarkan hadis dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasuullah saw bersabda, "Jika seorang imam mengucapkan amin, mak ucapkanlah amin, sesungguhnya barangsiapa yang ucapan aminnya bertepatan dengan aminnya malaikat, maka akan diberikan ampunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu."
Menurut riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian mengucapkan amin di dalam salat, dan malaikat di langit juga mengucapkan amin, lalu masing-masing ucapan amin dari keduanya saling bertepatan, maka akan diberikan amunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu."
Ada yang mengatakan, artinya, barangsiapa yang waktu mengucapkan aminnya bersamaan dengan amin yang diucapkan malaikat. Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya, bersamaan dalam pengucpannya. Dan ada yang berpendapat, kebersamaan itu dalam ha keikhlasan.
Dalam sahih Muslim diriwayatkan hadis marfu' dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Jika seorang imam telah membacakan waladh dhallin, maka ucapkan, 'Amin'. Niscaya Allah mengabulkan permohonan kalian."
Majoriti ulama mengatakan bahwa makna amin itu adalah ya Allah perkenankanlah untuk kami. Para sahabat Imam Malik berpendapat, seorang imam tidak perlu mengucapkan amin, cukup makmum saja yang mengucapkannya. Berdasarkan pada hadis riwayat Imam Malik dari Sami, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, bahw Rasulullah saw pernah bersabda, "Jika seorang imam telah membaca waladh dhallin, maka ucapkan, 'Amin'."
Mereka juga menggunakan hadis dari Abu Musa a-Asy'ari yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah sw bersabda, "Jika ia telah membaca waladh dhallin, maka ucapkan, 'Amin'."Dan kami kemukakan di atas dalam hadis dalam muttafaq 'alaih, "Jika seorang imam telah mengucapkan, 'Amin', maka ucapkanlah, 'Amin'."
Dan Rasulullah saw sendiri mengucapkan amin ketika beliau selesai membaca ghairilmaghdhubi'alaihim waladhdhalin.
Para sahabat kami telah berbeda pendapat mengenai jahr (suara keras) bagi makmum dalam mengucapkan amin dalam jahrnya. Kesimpulan perbedaan pendapat itu, bahwa jika seorang imam lupa mengucapkan amin, maka makmum harus serempak mengucapkannya dengan suara keras. Dan jika sang imam telah mengucapkannya dengan suara keras, (menurut) pendapat yang baru menyatakan bahwa para makmum tidak mengucapkannya dengan suara keras.
(Pendapat) yang terakhir ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah dan sebuah riwayat dari Imam Malik, karena amin itu merupakan salah satu bentuk zikir sehingga tidak perlu dikeraskan sebagaimana halnya zikir-zikir salat lainnya. Sedangkan pendapat yang lama menyatakan bahwa para makmum juga perlu mengucapkannya dengan suara keras. Hal itu merupakan pendapat Imam Ahmad dan Hanbal dan sebuah riwayat yang lain dari Imam Malik seperti yang telah disebutkan di atas, berdasarkan hadis, "Sehingga masjid bergetar (karenanya)."
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Pustaka Imam as-Syafi'i