Mengapa seorang anak muda berhaluan kiri dari salah satu negara di dunia yang paling sekuler dan liberal memilih untuk menjadi seorang Muslim yang saleh?
Malcom, 34 tahun, adalah seorang guru musik di Stockholm, Swedia. Sepanjang hidupnya, ia selalu mencari kebenaran dari agama.
"Saya tidak pernah meragukan keyakinan saya," katanya kepada Babel & Beyond saat kunjungannya ke Beirut. "Rasanya seperti saya memiliki iman yang sama sepanjang waktu, tapi rasanya begitu rapi dirumuskan dalam Islam.".
"Saya merasa sangat nyaman sebagai seorang Muslim .... Kita makhluk sosial dan kita ingin merasakan rasa memiliki," katanya. "Jika tidak klan, mungkin sebagai suatu bangsa atau tim sepak bola. Bagi saya adalah baik untuk memiliki sesuatu yang dimiliki, tapi tidak dalam sebuah bangsa tertentu atau tim sepak bola."
Tumbuh di tengah lingkungan mayoritas Protestan, Malcolm semakin hari semakin ragu tentang agama yang ia anut selama itu.
Ia mulai mempelajari agama-agama yang berbeda dan membaca teks filsafat. Dia merasa tertarik pada Islam dan terpesona oleh ajarannya, terutama ilmu pengetahuan yang ada dalam Islam.
Dia menggunakan internet untuk belajar tentang Islam dan Qur'an, menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer belajar bagaimana membaca Quran dan menghafal bagian-bagiannya.
Malcolm bukan satu-satunya anggota keluarganya yang memeluk Islam. Kakaknya juga, menjadi seorang Muslim.
Hari dimana ia "resmi" menjadi seorang Muslim terjadi sekitar tiga tahun yang lalu.
Dia menghadiri salat Jumat di masjid besar Stockholm. Ketika itu Imam meraih mikrofon dan mengatakan dengan lembut: "Sekarang, kita memiliki seorang saudara yang akan mengucapkan Syahadat."
Ruangan itu menjadi tenang saat Malcom yang berambut pirang dan bermata biru, bangkit dari tempat duduknya dan mulai membaca Syahadah bersama imam dalam bahasa Arab. Berdiri di lantai atas, di bagian perempuan, istrinya yang sudah Muslim mengawasinya.
"Rasanya luar biasa. Ketika selesai, semua orang datang pada saya, memeluk dan memberi ucapan ... satu orang dari Maroko memberi saya sebuah kaftan sebagai hadiah," kata Malcolm.
Sejak itu, Malcolm hidup dalam aturan Islam. Tidak ada daging babi di piring makan malamnya. Tak ada lagi alkohol. Tidak ada judi di akhir pekan. Selama bulan suci Ramadhan, dia puasa. Ia juga selalu salat berjamaah di masjid setiap kali ia bisa.
Kakaknya, katanya, bahkan mempelajari Islam Islam lebih dalam sebelum masuk Islam.
Mengapa memeluk Islam, Malcom? "Dalam hal ini, Islam benar-benar melawan kapitalisme."
Sebagai seorang Muslim yang tinggal di Eropa, Malcolm selalu khawatir akan penghinaan terhadap Islam di wilayah tersebut seperti larangan burka di Prancis, atau larangan kubah masjid di Swiss.
Welcome, Brother! (sa/latimes)
No comments:
Post a Comment